Penyelenggaraan pembangunan nasional yang berwawasan kesehatan serta pembangunan kesehatan menghasilkan kebutuhan berbagai jenis tenaga kesehatan yang memiliki kemampuan melaksanakan upaya kesehatan dengan paradigma sehat, yakni lebih mengutamakan upaya peningkatan dan pemeliharaan kesehatan. Pemeritah Indonesia dalam upaya penyelenggaraan kesehatan mengatur pelaksanaannya yang dilakukan bersama-sama oleh pemerintah serta masyarakat secara serasi dan seimbang, terutama melalui upaya penyembuhan serta pemulihan yang diperlukan.
Sebuah terapi baru dapat membantu menyeimbangkan kimia yang menyebabkan kerusakan pada otak yang diakibatkan oleh penggunaan obat-obatan. Hal ini diharapkan agar bisa membantu memulihkan pencandu serta menghindari penggunaan obat-obatan terlarang di masa yang akan datang.
Para peneliti dari The University of Texas Medical Branch di Galveston mengembangkan dan telah melakukan uji pengobatan pada tikus. Temuan mereka telah dipublikasikan dalam Journal of Medicinal Chemistry.
Ketika seseorang terbiasa menyalahgunakan obat-obatan, kimia di otak mereka berubah sehingga akan sulit berhenti menggunakannya meskipun ada konsekuensi negatif. Begitu seseorang mengembangkan gangguan otak ini, pikiran mereka akan lebih memperhatikan isyarat yang mendorong penggunaan narkoba, hal inilah yang membuat sulit untuk berhenti.
Serotonin yang, zat kimia otak yang bertugas mentransmisikan informasi antar wilayah saraf adalah kunci dalam perubahan ini. Hingga saat ini belum ada obat yang bisa memperbaiki ketidakseimbangan ini.
Jia Zhou, seorang ahli farmakologi dan profesor toksikologi dari University of Texas Medical Branch, beserta rekannya, Kathryn Cunningham menemukan bahwa reseptor serotonin 2C pada pecandu obat-obatan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Mereka kemudian merancang, mensintesis dan secara farmakologi mengevaluasi serangkaian terapi molekul kecil yang dirancang untuk mengembalikan sinyal yang melemah.
Para peneliti melatih tikus untuk menekan tuas untuk infus kokain pada isyarat ringan tertentu. Setelah tikus mempelajari perilaku mencari kokain ini, setengah dari mereka menerima terapi pengobatan dan yang separuh lainnya hanya menerima saline. Hewan-hewan yang diobati dengan jenis terapi baru untuk kokain jauh lebih sedikit daripada hewan kontrol yang dirawat hanya dengan saline.
Penelitian ini adalah yang pertama yang menunjukkan bahwa terapi reseptor serotonin 2C jenis ini dapat berhasil digunakan untuk mengurangi perilaku mencari obat-obatan atau ketergantungan obat-obatan. Temuan ini tentu sangat menarik karena selain dapat membantu orang untuk sembuh dari ketergantungan obat-obatan terlarang, gangguan fungsi reseptor serotonin 2C juga dianggap memiliki kontribusi pada masalah kesehatan kronis lainnya, seperti depresi, gangguan impulsif, obesitas dan skizofrenia.
Diharapkan dapat dilakukan uji klinis untuk terapi ini.
Sumber: University of Texas Medical Branch Newsroom
https://www.utmb.edu/newsroom/article11798.aspx